Mengutip dibagian akhir tulisan "Qulil Haq Walau Kana Murron; katakan yang benar walaupun itu pahit.". Mungkin itulah yang mendorong Mohammad Chandra Irfan untuk menulis sebuah catatan perjalanan dalam mengapresiasi karya-karya Start Light Exhibition "Art for Education" 2013 yang di gelar selama 10 hari lalu.
Tulisan ini berupa deskripsi, analisis, evaluasi dan penilaian karya seni dari kaca mata seorang apresiator. RedEtsa menyuguhkannya dalam "KACA MATA MEREKA".Selamat membaca..
Melahirkan sebuah karya Seni itu memang sakit, seperti sakitnya seorang Ibu melahirkan jabang bayinya*
Oleh: Mohamad Chandra Irfan**
a. Start Light Art For Education dalam pandangan ‘Aku’ sebagai penikmat
Seperti yang
kita ketahui, bahwa saat ini isu terhadap dunia politik tidak terlalu menarik
untuk diangkat ke dalam sebuah karya seni. Karena memang ada beberapa alasan
yang membuat isu tersebut lenyap begitu saja. Ketaktertarikannya itu adalah
ketakmempanannya para pekerja birokrasi, mulai dari Presiden, Menteri, sampai
antek-antek ke bawahnya, semuanya tak mempan dengan bahasa seni yang memang “abstrak”
dalam penyajiannya. Dengan yang verbal sekalipun mereka masih saja “korupsi,
nonton film kuda-kudaan di kantor MPR”, padahal sudah tahu “rumah” mereka
sedang dililit dengan beragam kasus. Sehingga isu yang mengkritisi ihwal
politik sudah mulai ditinggalkan.
Kesenian memang
pada dasarnya adalah sebuah jembatan untuk menyadarkan atau melayangkan sebuah
perlawanan. Kalau kita kembali membuka halaman buku yang menerangkan tentang
konvensi estetik yang berlaku zaman Yunani Klasik, yang digembar-gemborkan oleh
empu kita, yaitu Eyang Aristoteles, khususnya menyoal pada sebuah pertunjukan
teater, maka si empu itu menekankan bahwa sebuah pertunjukan harus berpangkal
atau bertolak pada tragedi, yang tujuan si empu tersebut agar sebuah
pertunjukan teater (karya seni umumnya), bisa menjadi sebuah nilai
"katarsis". Katarsis adalah di mana para apresiator "mendapat
pencerahan". Saya hanya mengambil peng-analogian dari satu karya seni,
yaitu teater.
Pameran “Start Light
Art For Education” yang diadakan oleh sejumlah mahasiswa Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) Bandung, jurusan Seni Rupa, bekerja sama dengan Galeri Kita, JL.
L.L.R.E Martadinata, No. 209, Bandung—dilangsungkan selama sepuluh
hari—terhitung dari tanggal 10-20 November 2013. Dalam rentang waktu 10 hari
itu, para seniman (penyaji karya) tidak hanya selesai pada acara pembukaannya
saja, akan tetapi mereka juga mengikuti apa yang dinamakan pameran proses. Di
mana pameran proses tersebut, adalah “ruang isolasi” dengan jarak waktu beberapa
hari bahkan beberapa beberapa minggu untuk melakukan eksplorasi, baik untuk
mengolah wilayah estetiknya atau menjungkir-balikkan sebuah karyanya dengan
konsep-konsep yang sudah diusung. Lalu setelah pameran proses selesai, maka beranjak
menuju pameran yang bukan lagi sebuah proses tapi sudah final menjadi sebuah karya yang utuh, terlepas dari
kekurangan-kekurangan yang lainnya.
b b. Sub-Sub Tema yang mengangkat
kedilemaan seniman dan lingkungannya
Tiga tema yang
ditawarkan oleh kurator (Galih Jatu Kurnia), menurut hemat saya memang semuanya
seolah ‘diadu-adukan/dibentur-benturkan’, sehingga para seniman (penyaji karya)
harus benar-benar tajam dalam menafsir tema tersebut, baik dari segi analisa
ataupun dari segi intuisi. Izinkan saya mengutip nukilan sub-sub tema tersebut.
(1)
Dimensi, Idealisme dan
Egoisme
Sub tema ini berangkat
dari fenomena sosial yang terjadi di Indonesia. Mulai dari terorisme, korupsi,
kolusi, nepotisme, anarkisme, eksploitasi alam, eksploitasi manusia hingga
fenomena pendirian aliran sesat. Beberapa fenomena tersebut dalam beberapa konteks
tak jarang mengambinghitamkan pendidikan.
(2)
Motif industri dan
virus duniawi
Pada
dasarnya pendidikan adalah kata sifat yang menerangkan proses terjadinya
transformasi ilmu. Itu adalah teori klasik. Namun kini pendidikan telah berubah
menjadi kata benda yang dapat kita saksikan sebagai praktek industri. Dalam hal
ini kepentingan ekonomi memang mendominasi proses pendidikan. Pada awalnya guru
dan murid adalah pemeran utama proses pendidikan, namun apabila kita lihat
dalam sudut pandang industri guru dan murid dapat diposisikan sebagai objek
yang dapat menghasilkan income bagi individu atau golongan.
(3)
Dilema teknologi, informasi dan seni
Perkembangan teknologi dan informasi jelas memberikan
kontribusi yang besar bagi dunia pendidikan. Memberikan banyak kemudahan akses,
pencarian referensi, sharing dan perluasan wacana lebih luas. Banyak keuntungan
yang didapat secara finansial atas jasa media informasi dan perkembangan
teknologi. Biaya untuk mengakses sesuatu dibelahan dunia lain tentu dapat
dihemat dengan adanya teknologi, yang bisa memindahkan informasi dari
jarak jauh ke ruangan kita.
Baik saya akan
mengupas (hanya) sub tema pertama, dari hasil pembacaan saya terhadap karya
juga konsep yang mereka tawarkan. Kita tinjau dulu pengertian sub tema tersebut
secara terpisah-pisah, kata dilemma
jika kita lihat menurut pengertian KBBI adalah, “..situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua
kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan; situasi
yang sulit dan membingungkan..”. Pada titik ini, seniman (penyaji karya)
memang sudah dibuat bingung, bingung bukan dalam pengertian yang sederhana atau
remeh-temeh—melainkan seniman (penyaji karya) harus membongkar bahkan menghancurkan
tubuhnya agar benar-benar melebur dalam dilema
tersebut. Jika tidak “melebur” dengan dilema
tersebut, maka sudah dapat ditaksir menafsirkan sub temanya akan jauh dari apa
yang diharapkan sub tema tersebut. Jika menjauh masih bisa untuk “diluruskan”
kembali, tetapi akan sangat miris jika “melneceng”; tak bisa diluruskan
kembali, sudah jauh berlari tafsirnya. Oleh karenanya, proses meleburkan adalah
proses “menjadi”. “Menjadi” yang dimaksud di sini adalah masing-masing seniman
(penyaji karya) betul-betul “menjadi” sub tema tersebut, tidak berjarak denga
tubuhnya, lingkungannya.
Idealisme dalam KBBI adalah “..(1)aliran ilmu filsafat yang menganggap
pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang dapat dicamkan
dan dipahami; (2) hidup atau
berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yang dianggap sempurna; (3) Sas aliran yang mementingkan khayal atau fantasi untuk
menunjukkan keindahan dan kesempurnaan meskipun tidak sesuai dng kenyataan..”.
Yang lebih dekat dari pengertian idealisme
merujuk pada sub tema pertama tersebut adalah …hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yang
dianggap sempurna—idealisme dalam konteks ini adalah bagaimana penguatan
dari apa yang dianggap benar dan sempurna oleh “aku” sebagai manusia berpikir.
Maksudnya sempurna dalam persoalan ini adalah, di mana seseorang dituntut untuk
menjadikan pikirannya ataupun apa yang ia tangkap itu menjadi batu pijak,
sehingga ketahanan akan konsepnya tersebut bisa dikatakan kuat. Pun juga
menyangkut pada idealisme seniman sebagai “manusia”—yang mempunyai nilai-nilai
sebagai manusia, menyangkut hal sosiologisnya, antropologisnya, dan
psikologisnya. Di sini pertarungan akan dimulai, antara “seniman sebagai
makhluk sosial” dan “seniman sebagai makhluk individual”. Keduanya harus ada
semacam perenungan yang akan ditiadakan salahsatunya. Apakah akan memilih untuk
orang banyak atau tetap keukeuh pada
pendirian “idealisme” kita? Mungkin akan banyak lagi sederet pertanyaan yang
menyangkut hal itu.
Egoisme dalam KBBI tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri
sendiri, untuk kesejahteraan orang lain; (2) Fil teori yang
mengemukakan bahwa segala perbuatan atau tindakan selalu disebabkan oleh
keinginan untuk menguntungkan diri sendiri. Memang sangat tipis sekali
antara idealisme dan egoisme. Keduanya saling tarik-menarik. Pada ujungnya
harus ada yang dijatuhkan. Kejatuhan itu sederhananya menjadi premis akhir dari
sebuah pilihannya. Bolehlah pembaca melupakan pemaparan saya menyoal pengertian
dilema, idealisme, egoisme, secara
terpisah-pisah tersebut. Sebab ada yang lebih penting, adalah menyoal; kenapa
saya begitu keras kepala agar seniman (penyaji karya) itu benar-benar
“menjadi”? Alasannya sederhana, jika seniman (penyaji karya) berjarak dengan
sub tema yang akan diolah menjadi sebuah karyanya—maka seniman tersebut hanya
menjadi “robot” yang digulirkan oleh teks yang bernama sub tema tersebut.
Bukankah seorang seniman adalah layaknya seorang Nabi? Nabi itu ‘kan bisa menafsirkan ayat tuhan kemudian
menubuhkan ayat tersebut dalam perilakunya, kemudian menyampaikannya kepada
para sahabatnya.
Singkatnya, seniman pun harus seperti Nabi,
terlepas berbeda “kedudukan” kadar imannya, terlepas pula dari perbedaanya,
tapi juga kita tak bisa menihilkan kesamaannya. Yang saya maksud di sini
adalah; seniman pun harus bisa menyedot atau mengunduh “spirit” Nabi sebagai
proses penciptaan karyanya. “Menjadi” adalah hal yang sangat elementer dalam sebuah
proses penciptaan karya, kalau kita meloncat lagi terhadap seni pertunjukan
teater, khususnya teater barat—kita akan bertemu dengan seorang tokoh yang
bernama Konstantin Stanislavski, seorang tokoh yang menciptakan teori di wilayah “pemeranan/keaktoran”,
ia menyatakan bahwa seorang aktor dalam mewujudkan perannya harus benar-benar
“menjadi”, maksudnya benar-benar “menjadi” peran tersebut. Artinya, misalkan
kita sebagai aktor; maka kita harus menghilangkan ke-aku-an, baik sifat kita,
kebiasaan kita, dsb, “menjadi” perilakunya, sifatnya, psikisnya dalam peran
tersebut. Proses pewujudan tersebut berarti ada beberapa tahap untuk mencapai
ke sana—adalah kita harus analisa peran, analisa naskah, analisa pengarang, dan
tentunya observasi yang menyangkut peran tersebut. Saya akan mengambil satu hal
dari apa yang dipaparkan empu pemeranan tersebut, yaitu ihwal “observasi” yang
menurut saya “observasi” ini tidak hanya berlaku dalam dunia peran (keaktoran)
saja, tetapi bagi siapa pun yang bergelut dalam dunia kesenian, khususnya
sebagai keator.
c. Observasi yang hanya
sampai di permukaan
Sembilan karya yang ditampilkan,
masing-masing dari senimannya (Agam M Husein, Ahmad Nurjaya, Alima Hayatun
Nufus, Basit Abdillah, Endang Adi Sutomo, Erlin Herlianti, Fitri Ramdani,
Ridhwan Badar, Rifky M. Isa) memperlihatkan estetikanya masing-masing hasil
dari ekspolorasinya. Media yang dihadirkan pun beragam. Pemilihan media
mengusung esetikanya sendiri-sendiri. Misalkan ada yang memakai medianya dari
bahan keras (semisal paku)—yang kerap kita anggap sebagai bahan material yang
tak ada manfaatnya sebagai karya seni. Tetapi setelah diolah menjadi sebuah
karya seni, ternyata memiliki muatan estetikanya tersendiri.
Dari sembilan karya tersebut, kita boleh
berbangga tapi kita juga boleh sedih. Kalau masalah kenapa kita mesti berbangga?
Saya tak akan membahasnya. Biarlah “anda” sebagai apresiator mengatakannya. Melainkan
menyoal sedihnya yang akan saya sentil di sini. Sedihnya adalah, dari konsep
yang mereka (seniman/penyaji karya) tawarkan masih pada sebatas permukaan. Pada
sebatas permukaan yang saya maksudkan adalah; pencarian seniman menyoal hakikat
dari sub tema yang ditawarkan kurator masih terasa “kering”. Ini bisa kita
lihat dari pandangan mereka dalam konsep yang mereka tulis. Tingkatan filosofis
masih terkatung-katung. Sehingga kalau dalam sebuah penyakit, mengidap penyakit
rakyat yang jika datang ke dokter, maka penyakit tersebut masih tergolong
penyakit yang biasa saja, tidak parah. Bahkan dengan cara tradisonal pun
penyakit itu pun bisa hilang dan tidur pulas. Apakah penyakit itu? Penyakit itu
adalah asup angin—penyakit masuk angin
adalah penyakit di wilayah permukaan, dikerok
pun bisa langsung hilang. Begitupun dengan sembilan karya mereka, masih pada
permukaan, yang jika dipertanyakan keutuhan makna karyanya, akan hilang dan
lenyap begitu saja muatan karyanya. Apakah benar mereka membuat karyanya dengan
“total”, sampai meleburkan diri sepenuhnya untuk karyanya? Atau tidak sama sekali?
Kalau saya boleh
melemparkan pertanyaan kepada seluruh seniman (penyaji karya), sebetulnya yang
kalian suguhkan (karya) tersebut, sebagai “pernyataan” atau sebagai “kenyataan”?
Jika hanya sebuah “pernyataan”, meminjam istilah Sapardi Djoko Damono, berarti
tak ubahnya seperti sebuah pidato, radio, yang tidak ada “kedalaman”, atau
lebih menohoknya lagi seperti pengeras suara. Tetapi jika yang disuguhkan itu
adalah sebuah “kenyataan” sudah barang tentu itu adalah sebuah pencapaian
“mendalam” yang mengandung “kedalaman”. Ada keterlibatan-keterlibatan khusus di
dalamnnya. Kalau kita menyapa lagi dunia filsafat seni, di sana akan
diterangkan antara “realitas awal” dan “realitas baru”. “Realitas awal” adalah
realitas yang pertama kali dilihat oleh seniman, misalnya ketika seorang
seniman melihat gunung yang menjulang dan sungai yang mengalir dengan air yang
jernih, sawah-sawah yang hijau, itulah “realitas awal”-nya. Lalu kerja kedua
adalah bagaimana seniman akan berhadapan dengan “realitas baru”. “Realitas
baru” adalah realitas kedua setelah menerima “realitas awal”, bagaimana
“realitas awal” yang tadi (gunung, sungai, sawah) tersebut mengendap dalam
ingatan si seniman. Dalam ingatan itu terjadi proses penyubliman, bergelutnya
realitas yang nampak dengan realitas yang tak nampak. Yang dimaksud dengan
realitas tak nampak itu adalah realitas yang tak terindera, dalam konteks ini
adalah “imajinasi”. Di sinilah kerja seniman dipertaruhkan. Imajinasi menjadi
“iman” tersendiri bagi seniman, karena dalam imajinasi terkadang apa yang
dianggap salah itu bisa menjadi benar, bahkan sebaliknya. Bagaimana antara
kesadaran dan ketaksadaran di sini mengawin. Mengawin bukan dalam pengertian
bilogis, tapi mengawin dalam pengertian yang ngawang-ngawang. Namun dari sekian banyak karya yang ditampilkan
terkadang luput dari pembacaan ini, sehingga dalam menciptakan “realitas baru”-nya
seolah melintas begitu saja. Tidak ada tahap kontemplasi, meditasi dan inkubasi
dalam karyanya.
d. Tak berjiwa, tak
bernyawa
..Kalau
Seorang Seniman membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian
tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian ialah jiwa ketok.
jadi kesenian ialah jiwa... (Seni
Lukis, Kesenian dan Seniman, Aksara Indonesia 2000)
Begitulah
Bapak Seni Lukis Modern Indonesia menghantam seniman-seniman (khususnya seniman
seni rupa). Perkataan Sudjojono tersebut jelas tak bisa kita bantah begitu
saja, sebab apa yang ia tulis berdasarkan pada pengamatan yang panjang dari
sejarah seni rupa yang panjang pula. Seperti yang telah saya bahas di muka,
bahwa dari keseluruhan karya yang dihadirkan pada pameran “Start Light Art For
Education” tersebut, tidak terlihat “jejak/tapak”
kontemplasi, meditasi dan inkubasi.
Karya-karya
mereka seolah hanya bertolak pada “sub tema”, selesai di sana. Tidak ada
tafsiran lain yang menyangkut ke arah sub tema tersebut. Justru yang menjadi kuat
dalam sebuah karya, mengutip empu kita juga, Affandi—adalah terjadinya yang
dinamakan “ngeliar” atau “ngedan”. Mereka terpatok dan dibingungkan
oleh sub tema tersebut. Seandainya para seniman (penyaji karya) sudah khatam “menyetubuhi”
sub tema yang akan diolahnya, tentu mereka juga akan bisa “ngedan” mengolah karyanya. Tentu saja “ngedan” yang dimaksud di sini adalah seniman mempunyai pandangan
lain dalam menyikapi sub tema yang akan diolah menjadi karyanya. Jika masih
“iman” terhadap sub tema itu, tanpa ada sudut pandang yang lain, jelas cara
berkaryanya juga “dilembagakan”. Imajinasi dan perasaan mereka “dikerangkeng”
dengan sebuah “undang-undang mikro”. Ironi!
e. Gagapnya pemahaman
seniman
Selasa
(19/11/13), terselengaralah acara diskusi yang mempertemukan seniman, kurator,
dan apresiaor. Diskusi diawali pemaparan oleh kurator (Galih Jatu Kurnia), ia
memaparkan ihwal sub tema, juga menyinggung menyoal kegiatan, dsb. Semisal
workhshop seniman kepada anak-anak SD, SMP, SMA. Sebuah cara untuk
memasyarakatkan seni rupa, sebuah cara yang tentunya positif. Karena sejauh ini
yang menikmati sebuah karya seni itu hanya orang seni saja, orang yang itu-itu
pula. Jadi yang menciptakan karya; orang seni, yang mengkritik; orang seni,
yang datang ke galeri; orang seni pula. Betapa kesenian menjadi ruang “onani” bagi
penggiat seni. Media onaninya yaitu “karya seni”. Miris. Tetapi Start Light Art
For Education dalam agendanya mencoba “memasyarakatkan seni rupa” di tengah
anak-anak muda (yang labil secra usia) tak lagi mengenal kesenian itu apa, untuk
apa, dan sebagai apa, juga di tengah maraknya pop culture, dan di tengah tayangan-tayangan televisi tak lagi
mendidik. Di sini “surga” baru sedang dibuka oleh anak-anak Seni Rupa UPI dengan
perlahan-lahan, di tengah “api neraka” terus membakar pikiran dan perasaan
kita.
Dari
diskusi tersebut, beberapa seniman menyampaikan bagaimana karya tersebut lahir
dan ide apa yang melatarinya, sehingga mereka membuat karya seperti ini dan
itu. Baik itu tak akan saya bahas di sini. Saya akan membahas bagaimana ketika
diskusi berlangsung. Ternyata selama diskusi itu berlangsung, seniman (penyaji
karya) nyaris gagap, terbata-bata, bahkan bungkam tak berbicara apa-apa ketika
apresiator memaparakan lewat disiplin ilmu yang lebih luas. Tidak hanya
berpatok pada pandangan seni rupa saja, tetapi menyentil pada wilayah estetika,
sejarah, semiotika, filsafat, dsb—mereka melongo
seperti anak ingusan. Aneh. Saya tak akan mengatakan kalau mereka tak pernah
membaca buku, atau mungkin dugaan saya itu benar, mereka tak pernah membaca,
entahlah.
Dari
pandangan saya tersebut—betapa mengerikan jika seorang seniman gagap dalam
menyampaikan atau menanggapi pembicaraan dalam ruang diskusi. Ruang diskusi
sebenarnya untuk menyampaikan pandangan narasumber (dalam pada ini adalah
seniman), di mana di dalamnya harus terjadi “pergesekan” dua arah. Dalam
diskusi tersebut nyaris hanya terjadi “satu arah”, tidak ada sanggahan bahkan
bantahan dari mereka. Padahal kalau melihat dari biografi mereka berkesenian,
jelas mereka tidak terlahir dari “seniman” yang dicetak secara autodidak,
tetapi mereka lahir dari “rahim” akademik. Sejarah mereka berkesenian dibangun
dari berbagai disiplin ilmu dan “ruang-ruang diskursus” yang ketat. Jadi sangat
menyedihkan sekali jika di forum diskusi mereka tak “bersuara” sama sekali.
Kita tahu, Bapak Seni Lukis Modern kita, bagaimana ambek-ambekkan melawan Basuki Abdullah, ia mencari seni lukis
Indonesia, ia menghantam mooi indie,
dsb. Lalu bagaimana dengan kita sekarang? Yang pada kenyataannya tidak terjadi
seperti Sudjojono itu. Mungkinkah ini kematian wacana?
f.
Interogasi
lagi karya “Anda”
Setelah
pameran selesai, hendaknya sebagai penghargaan terhadap karya seni yang sudah
dipamerkan, jangan dengan begitu saja meniadakan karya itu. Pajanglah karya
itu, tatap lagi karya itu. Buatlah karya itu sebagai cermin. Cermin yang akan
mendatangkan ribuan pertanyaan pada “anda” (seniman/penyaji karya), entah itu
pertanyaan menghujjat atau pertanyaan menyadarkan, dsb.
Jika
memang ketika “anda” (seniman/penyaji karya) menatap karya itu sampai terjadi
dialog yang mendalam, maka jawablah dengan jujur. Misalkan karya “anda”
(seniman/penyaji karya) itu bertanya, “Sungguh-sungguhkah anda dalam membuat
karya? Sehingga sekarang mewujud “aku” (karya) seperti ini. Jawablah dengan
jujur!
Lalu
ketika anda mau tidur, mau mandi, mau makan, tanya dan ajak dialog terus
menerus. Kemudian jangan simpan karya itu di satu tempat (hanya di situ-situ
saja). Misalkan dalam setiap hari itu berbeda tempat pemajangannya. Hari Senin
misalkan di ruang tamu, hari Selasa di kamar mandi, dan selanjutnya terserah
“anda” (seniman/penyaji karya). Nah lebih lama-lah dipajang di kamar mandi,
karena bagi sebagian orang kamar mandi itu adalah tempat yang paling sunyi
untuk ber-meditasi. Karena kamar mandi diyakini oleh sebagian orang itu adalah
“kamar imajinasi” tersendiri.
Menginterogasi karya
tersendiri, kalau kata Nashar adalah untuk bercermin diri. Di sinilah “anda”
(seniman/penyaji karya) akan menemukan “ruh”/”jiwa” dalam karya “anda” itu.
Banyak kemungkinan setelah “anda” menemukan “ruh”/”jiwa” tersebut. Mungkin saja
anda membakar karya anda, menghancurkan karya anda itu, sebagai bentuk
penyesalan karena “ke-tak-jujur-an” anda dalam berkarya. Atau “anda” tidak
membakar juga tidak menghancurkannya, “anda” lebih memilih mengabadikannya
dengan tujuan sebagai “olok-olok” bagi diri “anda” yang juga ‘tak jujur” dalam
berkarya. “Tak jujur” di sini adalah “ke-tak-jujur-an” “anda” dalam mengatakan
“kebenaran”. Qulil Haq Walau Kana Murron; katakan
yang benar walaupun itu pahit! []
*Tulisan
ini sebagai catatan perjalanan penulis dalam mengapresiasi karya seni, yang tentunya
penulis bertindak sebagai apresiator. Ditulis pada, hari/tanggal; Selasa, 26
November 2013—(terhitung dari pukul 16.48 s.d pukul 23.13 WIB).
**Mohamad
Chandra Irfan, lahir di Tasikmalaya, 17 April 1993. Alumni Pondok Pesantren
Perguruan KH. Zainal Musthafa, Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya. Mahasiswa
semester V, jurusan Teater, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Menulis
puisi, esai, dan menjadi aktor teater. Beberapa tulisannya dimuat di berbagai
media massa. Pecinta lagu-lagu Evie Tamala.