oleh Mohamad Chandra Irfan
Seni Rupa dari masa ke masa selalu berubah, seiring aliran-aliran
yang berkembang. Baik itu secara disiplin ilmu pengetahuan, ataupun
ilmu-ilmu lainnya yang satu sama lain bertautan dengan dunia
‘ke-seni-rupaan’. Dalam perkembangannya, seni (umumnya)–berangkat dari
orang-orang yang berlabelkan akademik. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Karena perkembangan wacana ‘tentang seni’ selalu berkembang pula.
Kebenaran-kebenaran dalam seni menjadikan ‘pijakan’ dalam membuat karya,
misalkan teori.
Indonesia sudah banyak
melahirkan para perupanya. Sebut saja Affandi, Sudjojono, Basuki
Abdullah, Nashar, dan lain sebagainya. Ini membuktikan Indonesia selalu
melahirkan para perupa dengan berbagai kriteria estetik yang ditawarkan.
Mulai dari sebuah perlawanan (dalam karyanya) begitupun sebuah
penyadaran. Misalkan pada lukisan Pablo Picasso yang berjudul Guernica
itu sangat jelas dalam lukisannya membicarakan kritik sosial pada
zamannya (perlawanan). Namun di Indonesia tidak hanya cukup bangga
dengan para penggiat seni rupa yang senior. Kita juga boleh berbangga
dengan pegiat-pegiat seni rupa anak mudanya. Karena bagaimanapun
juga, mereka akan menjadi tonggak dari masa depan seni rupa di masa yang
akan datang.
Kita patut berbangga dengan event
yang dilaksanakan oleh mahasiswa UPI Bandung, jurusan Seni Rupa. Mereka
mengadakan pameran bertajuk ‘Himasra Art Awards (HAA)’, yang dilaksankan
di Galeri Kita, JL. L.L.R.E Martadinata, No. 209, Bandung, terhitung
dari tanggal 1 Juni-14 Juni (2013)—melibatkan mahasiswa seni rupa UPI
Bandung sebagai pesertanya. Bisa dilihat dari karya yang dihadirkan
sangat beragam. Mulai dari yang memakai media kanvas, benang,
kaca, tanah liat, multiplek, dsb. Artinya kesadaran esetetik dalam
pemilihan gaya pun sangatlah beragam.
Pada dasarnya
kesenian memang tidak bisa dilihat ‘berkualitas’ atau tidaknya dari
sebuah event (apalagi yang sifatnya dilombakan). Namun sebagai bentuk
‘pemantik’ semangat dalam berkarya, maka hal ini menjadi sebuah
‘perayaan kegelisahan’ yang positif—yang mungkin tidak pernah
dirayakannya. Menjadi hal yang sangat positif manakala hal itu membuat
perasaingan satu sama lain. Persaingan pun akan menjadi menarik, sebab
bisa mengukur atau menakar seberapa jauh kemampuan (tekhnik,
skill, menuangkan gagasan) dalam sebuah medianya. Sebuah pengalaman akan
menjadi abadi, jika dituangkan dalam sebuah karya. Karya tersebut akan
menjadi ‘sejarah’ dan biografi tersendiri di masa yang akan datang.
Sebuah karya seni bisa tampak (hidup), jika pesan yang disampaikan dapat
dimaknai. Artinya kesadaran akan ‘pembuatan’ sebuah karya seni sangat
diperhitungkan. Misalkan, dengan merespon gejala yang ada, ataupun
menghadirkan perjalan batin dalam karya tersebut. Ini memungkinkan
‘apresiator’ akan terlibat di dalammnya.
Saini KM menuliskan dalam salah satu bukunya; Taksonomi Seni,
di mana takaran seseorang untuk mengapresiasi sebuah karya
seni, setidaknya mempunyai bekal. Bekal apa? Yaitu pemahaman atas karya
seni yang akan diapresiasinya. Apresiator yang baik setidaknya harus
memenuhi syarat-syarat yang berlaku. Antara lain; 1) terjadi
keterlibatan empati, 2) keterlibatan artistik, 3) keterlibatan
intelektual, 4) keterlibatan spiritual. Kesemuanya itu pada akhirnya
akan bermuara pada karya seni yang disuguhkan kepada apresiator.
Bagaimanapun juga, gagasan serumit apapun harus tertangkap dalam benak
apresiator.
Mereka masih muda, dan semangat
muda adalah wakil dari zamannnya. Di saat negara sedang dilanda krisis
multidemensi, tidak jelas juntrungannya. Di saat pemerintah tidak
memperhatikan kinerja anak bangsa yang berkaya, di saat semuanya serba
kerja dalam kebingungan, maka ‘Himasra Art Awards (HAA)’ menggagas event
kreativitas yang menumbuh-kembangkan semangat zaman. Di sini kita bisa
sadar, bahwa hal ini bisa menjadi daya juang bagi anak muda. Sebab
kemerdekaaan tidak bisa diukur dengan senjata perang, ataupun bertempur
ke medan laga, tetapi yang bisa dilakukan adalah ‘merayakan kembali
kegelisahan’.
Jurusan Seni Rupa UPI (Universitas
Pendidikan Indonesia) Bandung, khalayak mengetahui bahwa ‘cetakan’
mahasiswanya, akhirnya akan menjadi tenaga pengajar (guru). Namun, yang
menjadi kian menarik adalah mahasiswanya tidak terpatok melulu pada
‘ruang’ untuk menjadi tenaga pengajar saja. Artinya, di sini bisa kita
lihat bahwasanya; untuk menjadi tenaga pengajar yang baik tidak bisa
ditakar dengan duduk, mangut-mangut, iya-iya, di dalam kelas saja.
Melainkan dibutuhkan keahlian dalam meralisasikan teori-teori yang
didapat. Keterampilan mereka pun akan diperhitungkan di masa yang akan
datang. Walaupun tentu, tidak semuanya memilih untuk menjadi tenaga
pengajar, malahan misalkan ada yang berniat ‘bulat’ untuk menjadi
seniman (perupa, pelukis, dsb). Karena itu adalah sebuah pilihan.
Kemudian
yang sangat disayangkan adalah tempat (ruangan) pamerannya, karena
karya yang dihadirkan sangat banyak, dengan fasilitas yang tidak terlalu
refresentatif untuk apresiator. Misalkan, bagaimana apresiator bisa
mengapresiasi dengan baik, jika dalam satu ruangan tersebut sangatlah gerah, mungkin karena banyak pula apresiator yang datang, jadi suhu ruangan tidak stabil. Kemudian dalam keadaan gerah tersebut,
apresiator disuguhkan karya yang syarat dengan kerja intelektual dan
intuisi yang tajam. Tidak adanya pendingin ruangan, kurangnya pentilasi
udara, dan beberapa masalah lainnya—membuat apresiaotor dibuat tidak
terlalu nyaman. Ini menjadi PR bersama. Karena satu unsur harus
saling mendukung terhadap unsur lainnya. Saya tidak menyalahkan pada
panita pelaksana, ataupun pihak setempat, namun saya hanya menyayangkan,
Itu saja.
Sebab ini sifatnya event, yang
secara tidak langsung peserta digiring untuk diperlombakan.
Diperlombakan siapakah yang paling baik dan mumpuni untuk menjadi
pemenang. Yang sifatnya dilombakan, tentu ada yang menang dan ada yang
kalah. Hemat saya, semua peserta yang terlibat dalam event tersebut
adalah pemenang itu sendiri. Disadarai ataupun tidak, mereka telah
memenangkan egonya masing-masing untuk tidak berkarya (malas dan apa
untungnya) jika dipandang secara sekilas. Namun mereka mengalahkan
egonya, agar tetap berkarya dan merayakan kegelisahannya dengan berbagai
ekspresi yang mereka tuangkan.
Semoga HAA ini
melahirkan perupa-perupa, pelukis-pelukis, seniman-seniwati di masa yang
akan datang, yang bisa dipertaruhkan lewat karya-karyanya,
intelektualitasnya, dan kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya.*Moh
*Mohamad Chandra Irfan adalah Mahasiswa Jurusan Teater di STSI. Tak hanya aktif berteater, Moh. chandra Irfan juga sangat mengapresiasi karya-karya Seni lainnya seperti Seni rupa.
editor : M. Zam zam
editor : M. Zam zam