Rabu, 27 November 2013

KACA MATA MEREKA : "Melahirkan sebuah karya Seni itu memang sakit"

  
Mengutip dibagian akhir tulisan  "Qulil Haq Walau Kana Murron; katakan yang benar walaupun itu pahit.". Mungkin itulah yang mendorong Mohammad Chandra Irfan untuk menulis sebuah catatan perjalanan dalam mengapresiasi karya-karya Start Light Exhibition "Art for Education" 2013 yang di gelar selama 10 hari lalu.

Tulisan ini berupa deskripsi, analisis, evaluasi dan penilaian karya seni dari kaca mata seorang apresiator. RedEtsa menyuguhkannya dalam "KACA MATA MEREKA".Selamat membaca..





Melahirkan sebuah karya Seni itu memang sakit, seperti sakitnya seorang Ibu melahirkan jabang bayinya*
Oleh: Mohamad Chandra Irfan**

a. Start Light Art For Education dalam pandangan ‘Aku’ sebagai penikmat

Seperti yang kita ketahui, bahwa saat ini isu terhadap dunia politik tidak terlalu menarik untuk diangkat ke dalam sebuah karya seni. Karena memang ada beberapa alasan yang membuat isu tersebut lenyap begitu saja. Ketaktertarikannya itu adalah ketakmempanannya para pekerja birokrasi, mulai dari Presiden, Menteri, sampai antek-antek ke bawahnya, semuanya tak mempan dengan bahasa seni yang memang “abstrak” dalam penyajiannya. Dengan yang verbal sekalipun mereka masih saja “korupsi, nonton film kuda-kudaan di kantor MPR”, padahal sudah tahu “rumah” mereka sedang dililit dengan beragam kasus. Sehingga isu yang mengkritisi ihwal politik sudah mulai ditinggalkan.
Kesenian memang pada dasarnya adalah sebuah jembatan untuk menyadarkan atau melayangkan sebuah perlawanan. Kalau kita kembali membuka halaman buku yang menerangkan tentang konvensi estetik yang berlaku zaman Yunani Klasik, yang digembar-gemborkan oleh empu kita, yaitu Eyang Aristoteles, khususnya menyoal pada sebuah pertunjukan teater, maka si empu itu menekankan bahwa sebuah pertunjukan harus berpangkal atau bertolak pada tragedi, yang tujuan si empu tersebut agar sebuah pertunjukan teater (karya seni umumnya), bisa menjadi sebuah nilai "katarsis". Katarsis adalah di mana para apresiator "mendapat pencerahan". Saya hanya mengambil peng-analogian dari satu karya seni, yaitu teater.
Pameran “Start Light Art For Education” yang diadakan oleh sejumlah mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, jurusan Seni Rupa, bekerja sama dengan Galeri Kita, JL. L.L.R.E Martadinata, No. 209, Bandung—dilangsungkan selama sepuluh hari—terhitung dari tanggal 10-20 November 2013. Dalam rentang waktu 10 hari itu, para seniman (penyaji karya) tidak hanya selesai pada acara pembukaannya saja, akan tetapi mereka juga mengikuti apa yang dinamakan pameran proses. Di mana pameran proses tersebut, adalah “ruang isolasi” dengan jarak waktu beberapa hari bahkan beberapa beberapa minggu untuk melakukan eksplorasi, baik untuk mengolah wilayah estetiknya atau menjungkir-balikkan sebuah karyanya dengan konsep-konsep yang sudah diusung. Lalu setelah pameran proses selesai, maka beranjak menuju pameran yang bukan lagi sebuah proses tapi sudah final menjadi sebuah karya yang utuh, terlepas dari kekurangan-kekurangan yang lainnya.

b b. Sub-Sub Tema yang mengangkat kedilemaan seniman dan lingkungannya
Tiga tema yang ditawarkan oleh kurator (Galih Jatu Kurnia), menurut hemat saya memang semuanya seolah ‘diadu-adukan/dibentur-benturkan’, sehingga para seniman (penyaji karya) harus benar-benar tajam dalam menafsir tema tersebut, baik dari segi analisa ataupun dari segi intuisi. Izinkan saya mengutip nukilan sub-sub tema tersebut.
(1)   Dimensi, Idealisme dan Egoisme
Sub tema ini berangkat dari fenomena sosial yang terjadi di Indonesia. Mulai dari terorisme, korupsi, kolusi, nepotisme, anarkisme, eksploitasi alam, eksploitasi manusia hingga fenomena pendirian aliran sesat. Beberapa fenomena tersebut dalam beberapa konteks tak jarang mengambinghitamkan pendidikan.
(2)   Motif industri dan virus duniawi
Pada dasarnya pendidikan adalah kata sifat yang menerangkan proses terjadinya transformasi ilmu. Itu adalah teori klasik. Namun kini pendidikan telah berubah menjadi kata benda yang dapat kita saksikan sebagai praktek industri. Dalam hal ini kepentingan ekonomi memang mendominasi proses pendidikan. Pada awalnya guru dan murid adalah pemeran utama proses pendidikan, namun apabila kita lihat dalam sudut pandang industri guru dan murid dapat diposisikan sebagai objek yang dapat menghasilkan income bagi individu atau golongan.

(3)   Dilema  teknologi, informasi dan seni
Perkembangan teknologi dan informasi jelas memberikan kontribusi yang besar bagi dunia pendidikan. Memberikan banyak kemudahan akses, pencarian referensi, sharing dan perluasan wacana lebih luas. Banyak keuntungan yang didapat secara finansial atas jasa media informasi dan perkembangan teknologi. Biaya untuk mengakses sesuatu dibelahan dunia lain tentu dapat dihemat dengan adanya teknologi, yang bisa memindahkan informasi dari jarak jauh ke ruangan kita.

Baik saya akan mengupas (hanya) sub tema pertama, dari hasil pembacaan saya terhadap karya juga konsep yang mereka tawarkan. Kita tinjau dulu pengertian sub tema tersebut secara terpisah-pisah, kata dilemma jika kita lihat menurut pengertian KBBI adalah, “..situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan; situasi yang sulit dan membingungkan..”. Pada titik ini, seniman (penyaji karya) memang sudah dibuat bingung, bingung bukan dalam pengertian yang sederhana atau remeh-temeh—melainkan seniman (penyaji karya) harus membongkar bahkan menghancurkan tubuhnya agar benar-benar melebur dalam dilema tersebut. Jika tidak “melebur” dengan dilema tersebut, maka sudah dapat ditaksir menafsirkan sub temanya akan jauh dari apa yang diharapkan sub tema tersebut. Jika menjauh masih bisa untuk “diluruskan” kembali, tetapi akan sangat miris jika “melneceng”; tak bisa diluruskan kembali, sudah jauh berlari tafsirnya. Oleh karenanya, proses meleburkan adalah proses “menjadi”. “Menjadi” yang dimaksud di sini adalah masing-masing seniman (penyaji karya) betul-betul “menjadi” sub tema tersebut, tidak berjarak denga tubuhnya, lingkungannya.
Idealisme dalam KBBI adalah “..(1)aliran ilmu filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang dapat dicamkan dan dipahami; (2) hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yang dianggap sempurna; (3) Sas aliran yang mementingkan khayal atau fantasi untuk menunjukkan keindahan dan kesempurnaan meskipun tidak sesuai dng kenyataan..”. Yang lebih dekat dari pengertian idealisme merujuk pada sub tema pertama tersebut adalah …hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yang dianggap sempurna—idealisme dalam konteks ini adalah bagaimana penguatan dari apa yang dianggap benar dan sempurna oleh “aku” sebagai manusia berpikir. Maksudnya sempurna dalam persoalan ini adalah, di mana seseorang dituntut untuk menjadikan pikirannya ataupun apa yang ia tangkap itu menjadi batu pijak, sehingga ketahanan akan konsepnya tersebut bisa dikatakan kuat. Pun juga menyangkut pada idealisme seniman sebagai “manusia”—yang mempunyai nilai-nilai sebagai manusia, menyangkut hal sosiologisnya, antropologisnya, dan psikologisnya. Di sini pertarungan akan dimulai, antara “seniman sebagai makhluk sosial” dan “seniman sebagai makhluk individual”. Keduanya harus ada semacam perenungan yang akan ditiadakan salahsatunya. Apakah akan memilih untuk orang banyak atau tetap keukeuh pada pendirian “idealisme” kita? Mungkin akan banyak lagi sederet pertanyaan yang menyangkut hal itu.
Egoisme dalam KBBI tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri, untuk kesejahteraan orang lain; (2) Fil teori yang mengemukakan bahwa segala perbuatan atau tindakan selalu disebabkan oleh keinginan untuk menguntungkan diri sendiri. Memang sangat tipis sekali antara idealisme dan egoisme. Keduanya saling tarik-menarik. Pada ujungnya harus ada yang dijatuhkan. Kejatuhan itu sederhananya menjadi premis akhir dari sebuah pilihannya. Bolehlah pembaca melupakan pemaparan saya menyoal pengertian dilema, idealisme, egoisme, secara terpisah-pisah tersebut. Sebab ada yang lebih penting, adalah menyoal; kenapa saya begitu keras kepala agar seniman (penyaji karya) itu benar-benar “menjadi”? Alasannya sederhana, jika seniman (penyaji karya) berjarak dengan sub tema yang akan diolah menjadi sebuah karyanya—maka seniman tersebut hanya menjadi “robot” yang digulirkan oleh teks yang bernama sub tema tersebut. Bukankah seorang seniman adalah layaknya seorang Nabi? Nabi itu ‘kan bisa menafsirkan ayat tuhan kemudian menubuhkan ayat tersebut dalam perilakunya, kemudian menyampaikannya kepada para sahabatnya.
Singkatnya, seniman pun harus seperti Nabi, terlepas berbeda “kedudukan” kadar imannya, terlepas pula dari perbedaanya, tapi juga kita tak bisa menihilkan kesamaannya. Yang saya maksud di sini adalah; seniman pun harus bisa menyedot atau mengunduh “spirit” Nabi sebagai proses penciptaan karyanya. “Menjadi” adalah hal yang sangat elementer dalam sebuah proses penciptaan karya, kalau kita meloncat lagi terhadap seni pertunjukan teater, khususnya teater barat—kita akan bertemu dengan seorang tokoh yang bernama Konstantin Stanislavski, seorang tokoh yang menciptakan teori di wilayah “pemeranan/keaktoran”, ia menyatakan bahwa seorang aktor dalam mewujudkan perannya harus benar-benar “menjadi”, maksudnya benar-benar “menjadi” peran tersebut. Artinya, misalkan kita sebagai aktor; maka kita harus menghilangkan ke-aku-an, baik sifat kita, kebiasaan kita, dsb, “menjadi” perilakunya, sifatnya, psikisnya dalam peran tersebut. Proses pewujudan tersebut berarti ada beberapa tahap untuk mencapai ke sana—adalah kita harus analisa peran, analisa naskah, analisa pengarang, dan tentunya observasi yang menyangkut peran tersebut. Saya akan mengambil satu hal dari apa yang dipaparkan empu pemeranan tersebut, yaitu ihwal “observasi” yang menurut saya “observasi” ini tidak hanya berlaku dalam dunia peran (keaktoran) saja, tetapi bagi siapa pun yang bergelut dalam dunia kesenian, khususnya sebagai keator.

c.       Observasi yang hanya sampai di permukaan
Sembilan karya yang ditampilkan, masing-masing dari senimannya (Agam M Husein, Ahmad Nurjaya, Alima Hayatun Nufus, Basit Abdillah, Endang Adi Sutomo, Erlin Herlianti, Fitri Ramdani, Ridhwan Badar, Rifky M. Isa) memperlihatkan estetikanya masing-masing hasil dari ekspolorasinya. Media yang dihadirkan pun beragam. Pemilihan media mengusung esetikanya sendiri-sendiri. Misalkan ada yang memakai medianya dari bahan keras (semisal paku)—yang kerap kita anggap sebagai bahan material yang tak ada manfaatnya sebagai karya seni. Tetapi setelah diolah menjadi sebuah karya seni, ternyata memiliki muatan estetikanya tersendiri.
Dari sembilan karya tersebut, kita boleh berbangga tapi kita juga boleh sedih. Kalau masalah kenapa kita mesti berbangga? Saya tak akan membahasnya. Biarlah “anda” sebagai apresiator mengatakannya. Melainkan menyoal sedihnya yang akan saya sentil di sini. Sedihnya adalah, dari konsep yang mereka (seniman/penyaji karya) tawarkan masih pada sebatas permukaan. Pada sebatas permukaan yang saya maksudkan adalah; pencarian seniman menyoal hakikat dari sub tema yang ditawarkan kurator masih terasa “kering”. Ini bisa kita lihat dari pandangan mereka dalam konsep yang mereka tulis. Tingkatan filosofis masih terkatung-katung. Sehingga kalau dalam sebuah penyakit, mengidap penyakit rakyat yang jika datang ke dokter, maka penyakit tersebut masih tergolong penyakit yang biasa saja, tidak parah. Bahkan dengan cara tradisonal pun penyakit itu pun bisa hilang dan tidur pulas. Apakah penyakit itu? Penyakit itu adalah asup angin—penyakit masuk angin adalah penyakit di wilayah permukaan, dikerok pun bisa langsung hilang. Begitupun dengan sembilan karya mereka, masih pada permukaan, yang jika dipertanyakan keutuhan makna karyanya, akan hilang dan lenyap begitu saja muatan karyanya. Apakah benar mereka membuat karyanya dengan “total”, sampai meleburkan diri sepenuhnya  untuk karyanya? Atau tidak sama sekali?
Kalau saya boleh melemparkan pertanyaan kepada seluruh seniman (penyaji karya), sebetulnya yang kalian suguhkan (karya) tersebut, sebagai “pernyataan” atau sebagai “kenyataan”? Jika hanya sebuah “pernyataan”, meminjam istilah Sapardi Djoko Damono, berarti tak ubahnya seperti sebuah pidato, radio, yang tidak ada “kedalaman”, atau lebih menohoknya lagi seperti pengeras suara. Tetapi jika yang disuguhkan itu adalah sebuah “kenyataan” sudah barang tentu itu adalah sebuah pencapaian “mendalam” yang mengandung “kedalaman”. Ada keterlibatan-keterlibatan khusus di dalamnnya. Kalau kita menyapa lagi dunia filsafat seni, di sana akan diterangkan antara “realitas awal” dan “realitas baru”. “Realitas awal” adalah realitas yang pertama kali dilihat oleh seniman, misalnya ketika seorang seniman melihat gunung yang menjulang dan sungai yang mengalir dengan air yang jernih, sawah-sawah yang hijau, itulah “realitas awal”-nya. Lalu kerja kedua adalah bagaimana seniman akan berhadapan dengan “realitas baru”. “Realitas baru” adalah realitas kedua setelah menerima “realitas awal”, bagaimana “realitas awal” yang tadi (gunung, sungai, sawah) tersebut mengendap dalam ingatan si seniman. Dalam ingatan itu terjadi proses penyubliman, bergelutnya realitas yang nampak dengan realitas yang tak nampak. Yang dimaksud dengan realitas tak nampak itu adalah realitas yang tak terindera, dalam konteks ini adalah “imajinasi”. Di sinilah kerja seniman dipertaruhkan. Imajinasi menjadi “iman” tersendiri bagi seniman, karena dalam imajinasi terkadang apa yang dianggap salah itu bisa menjadi benar, bahkan sebaliknya. Bagaimana antara kesadaran dan ketaksadaran di sini mengawin. Mengawin bukan dalam pengertian bilogis, tapi mengawin dalam pengertian yang ngawang-ngawang. Namun dari sekian banyak karya yang ditampilkan terkadang luput dari pembacaan ini, sehingga dalam menciptakan “realitas baru”-nya seolah melintas begitu saja. Tidak ada tahap kontemplasi, meditasi dan inkubasi dalam karyanya.

d.      Tak berjiwa, tak bernyawa
..Kalau Seorang Seniman membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian ialah jiwa ketok. jadi kesenian ialah jiwa... (Seni Lukis, Kesenian dan Seniman, Aksara Indonesia 2000)
Begitulah Bapak Seni Lukis Modern Indonesia menghantam seniman-seniman (khususnya seniman seni rupa). Perkataan Sudjojono tersebut jelas tak bisa kita bantah begitu saja, sebab apa yang ia tulis berdasarkan pada pengamatan yang panjang dari sejarah seni rupa yang panjang pula. Seperti yang telah saya bahas di muka, bahwa dari keseluruhan karya yang dihadirkan pada pameran “Start Light Art For Education” tersebut, tidak terlihat “jejak/tapak” kontemplasi, meditasi dan inkubasi.
Karya-karya mereka seolah hanya bertolak pada “sub tema”, selesai di sana. Tidak ada tafsiran lain yang menyangkut ke arah sub tema tersebut. Justru yang menjadi kuat dalam sebuah karya, mengutip empu kita juga, Affandi—adalah terjadinya yang dinamakan “ngeliar” atau “ngedan”. Mereka terpatok dan dibingungkan oleh sub tema tersebut. Seandainya para seniman (penyaji karya) sudah khatam “menyetubuhi” sub tema yang akan diolahnya, tentu mereka juga akan bisa “ngedan” mengolah karyanya. Tentu saja “ngedan” yang dimaksud di sini adalah seniman mempunyai pandangan lain dalam menyikapi sub tema yang akan diolah menjadi karyanya. Jika masih “iman” terhadap sub tema itu, tanpa ada sudut pandang yang lain, jelas cara berkaryanya juga “dilembagakan”. Imajinasi dan perasaan mereka “dikerangkeng” dengan sebuah “undang-undang mikro”. Ironi!


e.       Gagapnya pemahaman seniman
Selasa (19/11/13), terselengaralah acara diskusi yang mempertemukan seniman, kurator, dan apresiaor. Diskusi diawali pemaparan oleh kurator (Galih Jatu Kurnia), ia memaparkan ihwal sub tema, juga menyinggung menyoal kegiatan, dsb. Semisal workhshop seniman kepada anak-anak SD, SMP, SMA. Sebuah cara untuk memasyarakatkan seni rupa, sebuah cara yang tentunya positif. Karena sejauh ini yang menikmati sebuah karya seni itu hanya orang seni saja, orang yang itu-itu pula. Jadi yang menciptakan karya; orang seni, yang mengkritik; orang seni, yang datang ke galeri; orang seni pula. Betapa kesenian menjadi ruang “onani” bagi penggiat seni. Media onaninya yaitu “karya seni”. Miris. Tetapi Start Light Art For Education dalam agendanya mencoba “memasyarakatkan seni rupa” di tengah anak-anak muda (yang labil secra usia) tak lagi mengenal kesenian itu apa, untuk apa, dan sebagai apa, juga di tengah maraknya pop culture, dan di tengah tayangan-tayangan televisi tak lagi mendidik. Di sini “surga” baru sedang dibuka oleh anak-anak Seni Rupa UPI dengan perlahan-lahan, di tengah “api neraka” terus membakar pikiran dan perasaan kita.
Dari diskusi tersebut, beberapa seniman menyampaikan bagaimana karya tersebut lahir dan ide apa yang melatarinya, sehingga mereka membuat karya seperti ini dan itu. Baik itu tak akan saya bahas di sini. Saya akan membahas bagaimana ketika diskusi berlangsung. Ternyata selama diskusi itu berlangsung, seniman (penyaji karya) nyaris gagap, terbata-bata, bahkan bungkam tak berbicara apa-apa ketika apresiator memaparakan lewat disiplin ilmu yang lebih luas. Tidak hanya berpatok pada pandangan seni rupa saja, tetapi menyentil pada wilayah estetika, sejarah, semiotika, filsafat, dsb—mereka melongo seperti anak ingusan. Aneh. Saya tak akan mengatakan kalau mereka tak pernah membaca buku, atau mungkin dugaan saya itu benar, mereka tak pernah membaca, entahlah.
Dari pandangan saya tersebut—betapa mengerikan jika seorang seniman gagap dalam menyampaikan atau menanggapi pembicaraan dalam ruang diskusi. Ruang diskusi sebenarnya untuk menyampaikan pandangan narasumber (dalam pada ini adalah seniman), di mana di dalamnya harus terjadi “pergesekan” dua arah. Dalam diskusi tersebut nyaris hanya terjadi “satu arah”, tidak ada sanggahan bahkan bantahan dari mereka. Padahal kalau melihat dari biografi mereka berkesenian, jelas mereka tidak terlahir dari “seniman” yang dicetak secara autodidak, tetapi mereka lahir dari “rahim” akademik. Sejarah mereka berkesenian dibangun dari berbagai disiplin ilmu dan “ruang-ruang diskursus” yang ketat. Jadi sangat menyedihkan sekali jika di forum diskusi mereka tak “bersuara” sama sekali. Kita tahu, Bapak Seni Lukis Modern kita, bagaimana ambek-ambekkan melawan Basuki Abdullah, ia mencari seni lukis Indonesia, ia menghantam mooi indie, dsb. Lalu bagaimana dengan kita sekarang? Yang pada kenyataannya tidak terjadi seperti Sudjojono itu. Mungkinkah ini kematian wacana?

f.       Interogasi lagi karya “Anda”
Setelah pameran selesai, hendaknya sebagai penghargaan terhadap karya seni yang sudah dipamerkan, jangan dengan begitu saja meniadakan karya itu. Pajanglah karya itu, tatap lagi karya itu. Buatlah karya itu sebagai cermin. Cermin yang akan mendatangkan ribuan pertanyaan pada “anda” (seniman/penyaji karya), entah itu pertanyaan menghujjat atau pertanyaan menyadarkan, dsb.
Jika memang ketika “anda” (seniman/penyaji karya) menatap karya itu sampai terjadi dialog yang mendalam, maka jawablah dengan jujur. Misalkan karya “anda” (seniman/penyaji karya) itu bertanya, “Sungguh-sungguhkah anda dalam membuat karya? Sehingga sekarang mewujud “aku” (karya) seperti ini. Jawablah dengan jujur!
Lalu ketika anda mau tidur, mau mandi, mau makan, tanya dan ajak dialog terus menerus. Kemudian jangan simpan karya itu di satu tempat (hanya di situ-situ saja). Misalkan dalam setiap hari itu berbeda tempat pemajangannya. Hari Senin misalkan di ruang tamu, hari Selasa di kamar mandi, dan selanjutnya terserah “anda” (seniman/penyaji karya). Nah lebih lama-lah dipajang di kamar mandi, karena bagi sebagian orang kamar mandi itu adalah tempat yang paling sunyi untuk ber-meditasi. Karena kamar mandi diyakini oleh sebagian orang itu adalah “kamar imajinasi” tersendiri.
Menginterogasi karya tersendiri, kalau kata Nashar adalah untuk bercermin diri. Di sinilah “anda” (seniman/penyaji karya) akan menemukan “ruh”/”jiwa” dalam karya “anda” itu. Banyak kemungkinan setelah “anda” menemukan “ruh”/”jiwa” tersebut. Mungkin saja anda membakar karya anda, menghancurkan karya anda itu, sebagai bentuk penyesalan karena “ke-tak-jujur-an” anda dalam berkarya. Atau “anda” tidak membakar juga tidak menghancurkannya, “anda” lebih memilih mengabadikannya dengan tujuan sebagai “olok-olok” bagi diri “anda” yang juga ‘tak jujur” dalam berkarya. “Tak jujur” di sini adalah “ke-tak-jujur-an” “anda” dalam mengatakan “kebenaran”.  Qulil Haq Walau Kana Murron; katakan yang benar walaupun itu pahit! []
*Tulisan ini sebagai catatan perjalanan penulis dalam mengapresiasi karya seni, yang tentunya penulis bertindak sebagai apresiator. Ditulis pada, hari/tanggal; Selasa, 26 November 2013—(terhitung dari pukul 16.48 s.d pukul 23.13 WIB).
**Mohamad Chandra Irfan, lahir di Tasikmalaya, 17 April 1993. Alumni Pondok Pesantren Perguruan KH. Zainal Musthafa, Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya. Mahasiswa semester V, jurusan Teater, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Menulis puisi, esai, dan menjadi aktor teater. Beberapa tulisannya dimuat di berbagai media massa. Pecinta lagu-lagu Evie Tamala.