Rabu, 28 Agustus 2013

OPINI Mereka : Menengok HAA juni lalu "MERAYAKAN KEMBALI KEGELISAHAN"



oleh Mohamad Chandra Irfan

Seni Rupa dari masa ke masa selalu berubah, seiring aliran-aliran yang berkembang. Baik itu secara disiplin ilmu pengetahuan, ataupun ilmu-ilmu lainnya yang satu sama lain bertautan dengan dunia ‘ke-seni-rupaan’. Dalam perkembangannya, seni (umumnya)–berangkat dari orang-orang yang berlabelkan akademik. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena perkembangan wacana ‘tentang seni’ selalu berkembang pula. Kebenaran-kebenaran dalam seni menjadikan ‘pijakan’ dalam membuat karya, misalkan teori.

Indonesia sudah banyak melahirkan para perupanya. Sebut saja Affandi, Sudjojono, Basuki Abdullah, Nashar, dan lain sebagainya. Ini membuktikan Indonesia selalu melahirkan para perupa dengan berbagai kriteria estetik yang ditawarkan. Mulai dari sebuah perlawanan (dalam karyanya) begitupun sebuah penyadaran. Misalkan pada lukisan Pablo Picasso yang berjudul Guernica itu sangat jelas dalam lukisannya membicarakan kritik sosial pada zamannya (perlawanan). Namun di Indonesia tidak hanya cukup bangga dengan para penggiat seni rupa yang senior. Kita juga boleh berbangga dengan pegiat-pegiat seni rupa anak mudanya. Karena bagaimanapun juga, mereka akan menjadi tonggak dari masa depan seni rupa di masa yang akan datang.


Kita patut berbangga dengan event yang dilaksanakan oleh mahasiswa UPI Bandung, jurusan Seni Rupa. Mereka mengadakan pameran bertajuk ‘Himasra Art Awards (HAA)’, yang dilaksankan di Galeri Kita, JL. L.L.R.E Martadinata, No. 209, Bandung, terhitung dari tanggal 1 Juni-14 Juni (2013)—melibatkan mahasiswa seni rupa UPI Bandung sebagai pesertanya. Bisa dilihat dari karya yang dihadirkan sangat beragam. Mulai dari yang memakai media kanvas, benang, kaca, tanah liat, multiplek, dsb. Artinya kesadaran esetetik dalam pemilihan gaya pun sangatlah beragam.

Pada dasarnya kesenian memang tidak bisa dilihat ‘berkualitas’ atau tidaknya dari sebuah event (apalagi yang sifatnya dilombakan). Namun sebagai bentuk ‘pemantik’ semangat dalam berkarya, maka hal ini menjadi sebuah ‘perayaan kegelisahan’ yang positif—yang mungkin tidak pernah dirayakannya. Menjadi hal yang sangat positif manakala hal itu membuat perasaingan satu sama lain. Persaingan pun akan menjadi menarik, sebab bisa mengukur atau menakar seberapa jauh kemampuan (tekhnik, skill, menuangkan gagasan) dalam sebuah medianya. Sebuah pengalaman akan menjadi abadi, jika dituangkan dalam sebuah karya. Karya tersebut akan menjadi ‘sejarah’ dan biografi tersendiri di masa yang akan datang. Sebuah karya seni bisa tampak (hidup), jika pesan yang disampaikan dapat dimaknai. Artinya kesadaran akan ‘pembuatan’ sebuah karya seni sangat diperhitungkan. Misalkan, dengan merespon gejala yang ada, ataupun menghadirkan perjalan batin dalam karya tersebut. Ini memungkinkan ‘apresiator’ akan terlibat di dalammnya.

Saini KM menuliskan dalam salah satu bukunya; Taksonomi Seni, di mana takaran seseorang untuk mengapresiasi sebuah karya seni, setidaknya mempunyai bekal. Bekal apa? Yaitu pemahaman atas karya seni yang akan diapresiasinya. Apresiator yang baik setidaknya harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku. Antara lain; 1) terjadi keterlibatan empati, 2) keterlibatan artistik, 3) keterlibatan intelektual, 4) keterlibatan spiritual. Kesemuanya itu pada akhirnya akan bermuara pada karya seni yang disuguhkan kepada apresiator. Bagaimanapun juga, gagasan serumit apapun harus tertangkap dalam benak apresiator.

Mereka masih muda, dan semangat muda adalah wakil dari zamannnya. Di saat negara sedang dilanda krisis multidemensi, tidak jelas juntrungannya. Di saat pemerintah tidak memperhatikan kinerja anak bangsa yang berkaya, di saat semuanya serba kerja dalam kebingungan, maka ‘Himasra Art Awards (HAA)’ menggagas event kreativitas yang menumbuh-kembangkan semangat zaman. Di sini kita bisa sadar, bahwa hal ini bisa menjadi daya juang bagi anak muda. Sebab kemerdekaaan tidak bisa diukur dengan senjata perang, ataupun bertempur ke medan laga, tetapi yang bisa dilakukan adalah ‘merayakan kembali kegelisahan’.

Jurusan Seni Rupa UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) Bandung, khalayak mengetahui bahwa ‘cetakan’ mahasiswanya, akhirnya akan menjadi tenaga pengajar (guru). Namun, yang menjadi kian menarik adalah mahasiswanya tidak terpatok melulu pada ‘ruang’ untuk menjadi tenaga pengajar saja. Artinya, di sini bisa kita lihat bahwasanya; untuk menjadi tenaga pengajar yang baik tidak bisa ditakar dengan duduk, mangut-mangut, iya-iya, di dalam kelas saja. Melainkan dibutuhkan keahlian dalam meralisasikan teori-teori yang didapat. Keterampilan mereka pun akan diperhitungkan di masa yang akan datang. Walaupun tentu, tidak semuanya memilih untuk menjadi tenaga pengajar, malahan misalkan ada yang berniat ‘bulat’ untuk menjadi seniman (perupa, pelukis, dsb). Karena itu adalah sebuah pilihan.

Kemudian yang sangat disayangkan adalah tempat (ruangan) pamerannya, karena karya yang dihadirkan sangat banyak, dengan fasilitas yang tidak terlalu refresentatif untuk apresiator. Misalkan, bagaimana apresiator bisa mengapresiasi dengan baik, jika dalam satu ruangan tersebut sangatlah gerah, mungkin karena banyak pula apresiator yang datang, jadi suhu ruangan tidak stabil. Kemudian dalam keadaan gerah  tersebut, apresiator disuguhkan karya yang syarat dengan kerja intelektual dan intuisi yang tajam. Tidak adanya pendingin ruangan, kurangnya pentilasi udara, dan beberapa masalah lainnya—membuat apresiaotor dibuat tidak terlalu nyaman. Ini menjadi PR  bersama. Karena satu unsur harus saling mendukung terhadap unsur lainnya. Saya tidak menyalahkan pada panita pelaksana, ataupun pihak setempat, namun saya hanya menyayangkan, Itu saja.

Sebab ini sifatnya event, yang secara tidak langsung peserta digiring untuk diperlombakan. Diperlombakan siapakah yang paling baik dan mumpuni untuk menjadi pemenang. Yang sifatnya dilombakan, tentu ada yang menang dan ada yang kalah. Hemat saya, semua peserta yang terlibat dalam event tersebut adalah pemenang itu sendiri. Disadarai ataupun tidak, mereka telah memenangkan egonya masing-masing untuk tidak berkarya (malas dan apa untungnya) jika dipandang secara sekilas. Namun mereka mengalahkan egonya, agar tetap berkarya dan merayakan kegelisahannya dengan berbagai ekspresi yang mereka tuangkan.

Semoga HAA ini melahirkan perupa-perupa, pelukis-pelukis, seniman-seniwati di masa yang akan datang, yang bisa dipertaruhkan lewat karya-karyanya, intelektualitasnya, dan kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya.*Moh 

*Mohamad Chandra Irfan adalah Mahasiswa Jurusan Teater di STSI. Tak hanya aktif berteater, Moh. chandra Irfan juga sangat mengapresiasi karya-karya Seni lainnya seperti Seni rupa. 

editor : M. Zam zam